kalanarca

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari ulang tahun Olive. Hari dimana akhirnya selesai sudah tugas Gavin untuk mendiamkan kekasihnya itu. Waktu menunjukkan tepat pukul 20.30 WIB. Sesuai janjinya dengan yang lain, Gavin langsung bergegas pergi meninggalkan apartment-nya untuk menyiapkan pesta hari ini. Selain hadiah, Gavin juga sudah menyiapkan satu restoran yang ia booking khusus untuk makan malamnya dengan Olive. Rencananya nanti ia akan datang langsung ke rumah Olive, dan beralibi sebagai kurir paket, baru setelahnya ia akan mengajak Olive untuk pergi ke restoran.

Bicara mengenai hubungannya, Gavin dan Olive sampai saat ini benar-benar menjauhkan diri masing-masing. Dengan Gavin yang patuh dengan suruhan teman-temannya, dan Olive yang terlalu malas untuk memulai obrolan dengan tanggapan yang kurang megenakan. Tak hanya dengan Gavin, Olive pun begitu dengan Isa dan Dira. Kedua sahabat yang biasanya selalu jadi tempat curhatnya, sekarang malah jadi dalang dari semuanya.

Bulan mulai menyinari seisi langit, namun sama sekali tak ada pesan berisi ucapan 'Selamat Ulang Tahun' yang Olive nanti sedari tadi. Olive kini hanya duduk manis di balkon kamar, sembari menyemili kue kering yang ia buat sendiri tadi pagi. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya, memperhatikan layar hitam dengan harapan akan muncul satu notifikasi dari orang-orang yang ia tunggu.

Sampai akhirnya, tok.. tok.. tok.. Ketupan pintu itu terdengar berasal dari luar kamarnya. Olive bergegas pergi ke pintu, untuk memeriksa keberadaan siapa di sana. Dan, yang ia dapati adalah sang Kakak, Junior.

“Gue lupa lu ultah, maaf ya adikku. Happy birthday, Olive Eravellin kesayangannya Papa mama sama abang. Semoga apa yang disemogakan dapat tersemogakan yaa, semoga langgeng sama si ituuu hahaha. Pokoknya yang baik baik aja deh,” tuturnya lalu mencium kening sang Adik.

“Kadonya mana hahahaha?” gurau Olive, “Thanks ya, abangkuuu,” lanjut Olive sambil mengulum senyum.

“Oh iya, di bawah ada kurir noh nyariin lu,” ucap Junior.

Olive mengerutkan dahinya merasa aneh. “Perasaan, gua gak checkout barang apa-apa deh,” ucap Olive yakin tidak yakin.

“Cek dulu aja, lu kan pelupa. Abis ambil paket tidur nyenyak dah lu, good night cil,” ucap Junior sebelum akhirnya pergi meninggalkan Olive di kamarnya sendiri.

Olive mengambil cardigan merah muda, lalu langsung ia kenakan di tubuh mungilnya. Angin malam ini terasa cukup dingin, meski hanya keluar sebentar, apalagi jika hanya mengenakan kaos lengan pendek.

Olive sampai di luar rumah, dan mendapati mobil yang tidak asing baginya. Itu, mobil Gavin.

“HAH???” Ia sontak kaget, meski kata kaget itu hanya ia suarakan dalam hatinya.

Gavin keluar dari pintu bagian supir, di sana—tangan kirinya, ia membawa paper bag yang cukup besar dengan bunga adalah isinya. Tangan kanannya ia ulurkan untuk Olive. Tak pikir panjang, Olive langsung menerima uluran tangan itu lalu memeluk Gavin penuh hangat. Begitupun sebaliknya.

Di sela-sela hangatnya pelukan mereka, Gavin mengucapkan berbagai kata manis.

“For my cupcake, your love is the most precious gift in my life. I’m wishing you the happiest birthday yet! I love you on your birthday, very day, now and forever. Thank you for coming to my life, Olive.” ucap Gavin lembut—sangat lembut, sambil mengelus pucuk rambut gadisnya itu sesekali.

“Sebenernya aku masih marah, tapi KENAPA KAMU SWEET BANGET??? Jadi, aku gak jadi marah aja deh.”

Gavin tertawa. “Hahaha terserah kamu, maaf ya bub. Kemarin cuma prank, I LOVE YOU SO MUCH!”

Pelukan keduanya melonggar sedikit, lalu terlepas. Gavin memberikan bunga yang ia bawa di tangan kirinya itu, Gavin juga mengatakan mereka akan pergi makan malam hari ini.

“Eh kamu tuh sweet gini diajarin siapa deh?”

“Belajar sendiri lah,” balas Gavin dengan bangga.

“Ohh gitu ya?” Gavin mengangguk, “Kamu nih mana sweet-nya gak ada sama sekali,” protes Gavin.

“Dihhh aku sweet tau, kamu aja yang belum tau,” ucap Olive dengan nada tak terima.

“Ya udah, kasih tau aku sekarang.”

Olive menunjuk ke langit—bulan, yang berada tepat di atas bumi yang mereka pijak.

Cup.

Bukan, itu bukan panggilan dari Gavin. Melainkan satu kecupan yang mendarat tepat di pipi Gavin yang kini merona—kecupan dari gadisnya, Olive.

“CIEEEEE!!!”

“PANAS BANGET JAKARTA!!”

Segala seruan itu berasal dari sahabat Gavin dan Olive, mereka ada di sana hanya sebagai peran pendukung bagi keduanya.

Indah pada waktunya, mungkin ini kalimat yang paling tepat untuk mendefinisikan ikatan antara keduanya. Sepasang makhluk yang disatukan sebab waktu yang tak sengaja mempertemukan. Terima kasih karena tidak takut untuk mencoba mengukir kata bahagia (lagi) dengan yang lain.

Seperti yang Gavin katakan tadi, mereka akan berkeliling dulu sebelum pergi membeli bahan-bahan untuk keperluan kue, sembari Olive menikmati sarapannya. Selama perjalanan sesekali Gavin melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang Olive, dari makanan kesukaan, tempat kesukaan sampai moment dihidupnya yang tak terlupakan. Gavin bertanya dengan dalih hanya penasaran, memang benar ia penasaran. Namun, tujuan utama Gavin adalah ia ingin menulis juga mengingat tentang apa yang Olive suka dan tidak suka di dalam jurnalnya, untuk ia pelajari.

Sikapnya manis, bukan?

“Lo kenapa cuma suka bubur yang putih gitu doang? Padahal bubur pake kari tuh enak banget, Liv. Gue paling suka bagian dibubur itu kuah karinya,” jelas Gavin kepada Olive.

“I know right, lo emang suka banget sama kuah kari, waktu itu lo bilang pas interview dimana gitu. Ya kan?”

Gavin mengangguk. “Iya, bener. Cuma gak usah bahas point itu, kita bahas kenapa lo suka bubur putih doang aja?”

“Eum.. gimana ya. Dari gue kecil, setiap gue sakit itu pasti makannya bubur. Nah, buburnya ini cuma bubur putih. Dan mulut gue lebih terbiasa aja untuk makan bubur putih doang, ketimbang yang ada topping lain gitu. Selain karena itu, bubur yang komplit tuh keliatan kurang menarik aja menurut gue, ribet ya gue,” jelas Olive panjang lebar.

“Bukan ribet sih, cuma beda aja. Berarti lu prefer makan bubur putih ya, ketimbang bubur komplit?” tanya Gavin memastikan.

“Iyappp, bener banget.”

Obrolan mereka perihal bubur sudah selesai, begitu juga dengan bubur yang Olive makan sudah habis tak tersisa. “Enak gak?” tanya Gavin

“Jelas enak lah, kan gue doyan,” celetuk Olive sambil membuka botol air minumnya.

Sesaat Olive ingin minum, diwaktu bersamaan Gavin menghentikan laju mobilnya. “Kenapa berhenti?” tanya Olive sehabis minum. “Itu kan lo lagi minum, kalo jalan nanti tumpah,” ucap Gavin lalu kembali melajukan mobilnya.

“Cowo yang perhatian sama hal-hal kecil tuh emang wow banget. Tapi karena ini Gavin, jadi lebih wow lagi,” batin Olive.

Dirasa sudah cukup berkeliling dan Olive juga sudah menyelesaikan sarapannya. Gavin langsung membawa kemudinya menuju tempat yang ada di list mereka hari ini, supermarket. Suasana kembali sunyi, sampai akhirnya Olive memutuskan untuk lebih dulu memulai percakapan mereka. Karena sedari berangkat dari rumah Olive, yang melontarkan pertanyaan selalu Gavin.

“By the way, gue boleh tanya?”

Gavin menoleh ke arah sumber suara, Olive. “Boleh, Liv. Gue malah nunggu lo yang tanya soal gue hahaha,” ucap Gavin terlalu jujur.

“Hahahaha sorry ya, gue bingung juga sih mau tanya apa. Tapi, sekarang gue tau harus tanya apa.” Gavin menaikkan sebelah alisnya, simbolis menanyakan apa?

“Kenapa sikap lo manis banget sama gue? Sikap lo kayak gitu cuma ke gue atau ke semua orang?” Olive menghentikan bicaranya sejenak. “Maaf kalo pertanyaan gue terkesan lancang atau sok kepedean, gue cuma bingung harus bersikap gimana kedepannya. Lo tau kan hubungan gue sama lo aslinya, fans sama idol gitu, kayak gak mungkin aja gak sih?” lanjut Olive.

Laju detak jantungnya jadi lebih cepat dari biasanya, ia takut salah memberikan pertanyaan. Apalagi ini sedikit menyangkut dan menyinggung perasaan Gavin juga dirinya.

“Siapa yang bilang gak mungkin? Di kamus gue sih, mungkin-mungkin aja. Soal sikap manis gue, itu bener kok. Gue gitu karena orangnya itu lo, gue juga bersikap kayak gitu cuma sama lo, Liv. Karena title gue idol, emang gue jadi gak keliatan serius?” tanya Gavin, ucapannya benar-benar lembut. Seakan jadi pembukti bahwa dirinya benar-benar serius.

Olive mengangguk seakan paham. “Lo inget waktu di backstage? Gue cerita soal mantan gue, dari sana kepercayaan gue ke orang itu jadi turun drastis. Dan lagi juga, gue takut rasa gue ke lo itu sebatas rasa sayang dan baper ke idol aja,” tutur Olive, yang sama sekali tak menatap lawan bicaranya.

“Kalo gitu, tolong kasih gue kesempatan buat bener-bener masuk ya? Biar lo tau dan sadar rasa apa yang sebenernya lagi lo rasain. Kalo rasa gue sendiri sih, gak usah diomongin lagi, Liv. Cuma tinggal tunggu waktunya aja.”

Entahlah, ucapan Gavin rasanya agak sulit ditangkap oleh pikiran Olive. “Maksudnya?”

“Bahas nanti aja ya, udah sampe nih. Yang pasti sih, gue beneran sayang sama lo. Jadi, gue harap jangan ragu lagi soal perasaan gue.”

Kalimat itu jadi dialog terakhir antara Gavin dan Olive di mobil. Karena di detik selanjutnya, Gavin sudah keluar dari mobil dan membukakan pintu milik Olive.

“Jadi, gitu ya?” gumam Olive.


“Butuh troli gak?” tanya Gavin sesaat ingin memasuki area supermarket. “Butuh banget.”

“Dua apa satu?” gurau Gavin,

“Satu aja lah, ngapain bawa troli dua coba?”

Gavin tertawa kecil sembari mengambil satu troli dari banyaknya jejeran troli di sana. “Maaf cuma bercanda, bu,” ledek Gavin tak henti-hentinya.

Keduanya langsung masuk ke dalam dan mulai mencari bahan-bahan yang ingin mereka beli. Seperti tepung, mentega, pengembang kue, dan sebagainya. Gavin berjalan tepat di belakang Olive, ia juga yang membawa troli itu berjalan. Sedangkan Olive berada di depannya dengan membawa catatan berisi list bahan-bahan yang ia butuhkan.

“Eh ini bahan-bahannya udah, mau beli jajanan gak?” tanya Olive.

“Terserah, kan ibu negaranya kamu,” celetuk Gavin.

“Maksudnya apa ya kamu kamu,” batin Olive, rasanya ia ingin teriak saat itu juga.

“Mulut gue udah terlanjut, udahlah trobos.” Kini giliran batin Gavin yang menyuarakan suaranya.

Olive mengabaikan apa yang ia pikirkan baru saja dan bergegas pergi ke rak-rak berisi camilan dan kue-kue kering.

Malam ini jadi malam yang berharga bagi mama. Meski personilnya belum lengkap, bagi mama sudah cukup. Menghabiskan waktu dengan anak dan cucu adalah impian setiap orang dikala menuju lanjut usia. Beruntungnya Tia punya anak-anak yang dengan mudah dapat berkumpul, meski semuanya punya kesibukan masing-masing. Mereka masih ingat dan tahu, tempat mereka berpulang.

“Kandungan kamu gimana, Kak?” tanya Tia kepada putri sulungnya, Dea.

“Sehat kok, Mah. Aku rutin check up dan konsul juga, perkiraan dokternya sih lahir normal. Semoga bisa,” tutur Dea sambil sesekali mengelus perutnya yang kian hari semakin membesar.

“Syukurlah. Pasti bisa, Nak. Kamu jangan banyak pikiran, jangan kecapean juga lho ya. Mulai besok mama nemenin kamu di rumah, biar kamu gak kecapean ya, Nak. Mama ke sana gapapa, kan?”

Dea mengangguk paham. “Sebenernya gak usah repot-repot, Mah. Toh Dea juga masih bisa handle kerjaan, tapi kalo mau ke rumah juga ya gapapa. Rumah Dea kan rumah Mama juga,” balas Dea.

Tia menatap menantu laki-lakinya. “Kalo kamu gimana, Nak? Kerjaan lancar? Kamu juga jaga kesehatan selalu, biar nanti bisa temani Dea saat melahirkan,” tutur Tia dengan lembut.

“Kerjaan lancar, Mah. Itu pasti, nanti saya ambil cuti sampai Dea benar-benar pulih, Mah,” ucap suami Dea.

Tia benar-benar sosok orang tua dan mertua yang diinginkan banyak orang, yang tak pernah menuntut banyak hal dari anak dan mantu, juga yang selalu memberikan dukungan dalam hal apapun selagi tindakannya benar. Kini, giliran Gavin. Tia menatap si bungsu seraya mengelus bahunya lembut. “Kamu gimana, Dek? Kerjaan lancar juga gak?”

Gavin mengangguk. “Lancar. Mah. Bentar lagi aku juga mau rilis lagu baru,” ucap Gavin lalu menyuap sepotong daging di piringnya.

“Semoga lancar ya, Nak.” Gavin tersenyum menanggapi sekelibat restu dari sang mama.

“Kalo soal perempuan gimana nih?” tanya Tia sembari melempar senyum menggoda.

“Gampang itu, Mah. Diomongin nanti aja, Gavin pasti cerita kalo udah ada hehehe.”

Tia mengangguk paham. Ia juga tak ingin memaksa yang bukan kehendaknya, dan memilih para anaknya untuk menceritakan yang memang ingin mereka ceritakan saja.

“Iya iya, asal cerita ke Mama ya nanti. Tapi anaknya gimana, Dek?” tanya Tia iseng.

“Anaknya baik,” ucap Gavin sambil menahan senyumnya.

Dea tertawa melihat pipi sang asik merona. “Dasar remaja kasmaran, salting dikit langsung merah tuh pipi,” ledeknya.

“Kayak gak pernah muda aja,” celetuk Gavin.

Tia hanya menggeleng kecil melihat tingkah kedua anaknya, meski sudah besar tetap saja jiwa anak-anak mereka tetap ada. Kakak beradik yang kejahilannya sudah seperti makanan sehari-hari.

Gavin memberhentikan makannya seraya menatap sang mama. “Oh iya, Gavin izin pesen take a way satu ya,” ucapnya.

“Ya udah, buat siapa emang? Kamu masih kurang?” tanya Tia.

Dea menggeleng menanggapi pertanyaan sang mama. “Biasa anak muda, Mah. Buat ayangnya lah hahahaha,” ledek Dea, diacungi jempol oleh Gavin.

“Hehehe, boleh kan?” tanya Gavin lagi ke mama.

Mama mengangguk.

“Boleh, Nak.”

Olive dengan segera langsung menutup ponselnya, sesaat melihat story Gavin yang berada tepat di satu tempat dengannya. “Kenapa dia ada dimana-mana??”

Isa menghampiri Olive, mengajaknya untuk bergabung dengan Dira yang kini tengah asik dengan stik billiard-nya. Dibandingkan dengan kedua temannya, Olive adalah yang paling lemah dalam hal berpura-pura. Wajah gelisahnya kini sangat dengan mudah terbaca, entah oleh Isa ataupun Dira.

“Lo kenapa deh?” celetuk Dira, yang lalu berhasil mencetak point. “Yessss!” lanjutnya.

“Gue?” Olive menggeleng, isyarat tidak apa-apa.

“Serius nih?” tanya Isa dengan nada menggoda.

“Gavin ada di sini juga masa, sumpah Jakarta kenapa sempit banget ya?” keluh Olive sambil memijat kecil daerah tengkuknya.

“Bukan sempit sih, tapi lu mainnya emang daerah sini-sini doang kan,” timpal Dira.

Olive mengangguk.

“By the way lu gak open pre order kue lagi kah?” tanya Isa memastikan.

“Masih lah, itu kan sumber kehidupan gue,” balas Olive.

“Akhir-akhir ini kenapa ada aja ya, gue ketemu Gavin mulu. Udah agak biasa sih, tapi taulah Gavin sweet talker, takut dikit. Ya, siapa yang gak kepincut cobaaaa? Bisa aja ada cewe lain yang kayak gue sama dia, bahkan bisa aja lebih. Ah, bisa gila gue mikirnya,” batin Olive.


Gavin dan ketiga temannya berada di lantai satu, sedangkan Olive dan kedua temannya berada di lantai dua. Yang berada di lantai satu, mayoritas perokok. Makanya, Olive memilih untuk di lantai dua.

“Olive ada di lantai dua kan? Kalo liat story-nya sih gitu,” batin Gavin.

“Gua mau ke atas dulu,” ucap Gavin lalu bergegas pergi menaiki tangga.

Gavin dengan segala rasa ingin tahu yang ada, menaiki tangga dengan harapan akan bertemu Olive. Sesampainya di atas, ternyata tak semudah itu menemukan Olive. Di sini cukup banyak orang-orang yang bergerombol.

“Mana ya dia?” batin Gavin sembari matanya mencari keberadaan Olive.

Tepat. “Oh, di sana,” ucap Gavin terdengar lega.

“Kayaknya gak usah ketemu deh, lagi seneng-seneng anaknya.”

Gavin tak henti-hentinya memasang wajah sumringah. “Cantik, selalu,” ucapnya lalu kembali turun menyusul teman-temannya lagi.

Pagi hari yang cerah, cuaca hari ini cukup mendukung untuk melakukan berbagai aktivitas. Namun, tidak bagi Olive, cuaca seperti ini mendukungnya untuk tidur lebih panjang. Sayangnya niat itu sia-sia karena rencana kedatangan Gavin ke rumah—tokonya.

Baru saja Olive keluar dari kamar, dirinya langsung disambut oleh sang mama dengan wajah keheranan. “Tumben kamu mandi pagi,” tegur mama—Anna.

“Hehehe, gapapa,” elaknya.

“Emang siapa yang mau dateng?” tanya Anna. Insting ibu memang sangat kuat. 

“ Gavin mau ke sini, mau beli kue buat kakaknya,” jelas Olive, sambil berjalan menuju lemari es, mencari ice cream sisa semalam.

Anna mengangguk.

 “Sekalian mau ketemuan ya?” gurau Anna sambil melempar senyum tipis.

“Uhuk.. uhuk..”

“Waduh! Sampe batuk gitu. Pelan-pelan aja, Dek,” sahut sang kakak—Junior. 

“Berisik lo!” ketus Olive.

Olive beralih ke sofa ruang tamu bernuansa biru laut dengan kualitas busa yang sangat empuk, di sanalah ia menikmati sisa ice cream-nya.


Mobil berwarna hitam dengan plat nomor berakhiran VIN baru saja memarkirkan diri di depan toko kue Olive. Pelakunya tentu saja tak lain adalah Gavin.

“Ini gua langsung masuk aja kali ya,” batin Gavin.

“GAVIN UDAH DATENG???” seru Olive.

Junior mengangguk.

“Cek aja di bawah kalo gak percaya,” tutur Junior.

Junior bergegas turun kembali ke toko, entah untuk apa. Sedangkan Olive, ia sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Degupan jantungnya makin lama makin kencang, ia mencoba mengatur napas secara perlahan. Setelah merasa kondisi jantungnya lebih baik, Olive memutuskan untuk segera turun ke bawah. Meski ia takut, tapi tetap saja Gavin datang ke sana sebagai pelanggannya.

Olive menuruni tangga dengan perlahan, rasanya cara ia berjalan kini lebih lamban. “Ini kaki gue kenapa gak bisa lebih cepet sih? Giliran jantung gue aja detaknya udah kayak dikejar anjing,” gumam Olive.

“Hai, Liv!” sapa Gavin pertama.

Deg.

“Eh? Iya, Vin,” balas Olive dengan wajah yang agak kikuk.

Olive beralih ke dapur toko kuenya, dan membantu sedikit demi sedikit pekerjaan yang sedang dilakukan sang mama—Anna.

Netra Gavin tak berpaling, ia hanya terfokus dengan objek cantik itu, Olive.

“Jangan liatin gue please, deg degan anjir,” batin Olive. Ia sadar sedari tadi laki-laki itu terus memperhatikan aktivitasnya.

“Dek, ajak ngobrol Gavin lah. Masa lu di situ diem doang, itu ngerjain apa coba hahaha tipu tipu,” celetuk Junior. Layaknya seorang kakak, Junior selalu punya akal licik untuk menggoda sang adik.

Mama menambahi ucapan Junior dengan anggukan. “Bener kata kakakmu, ke sana aja, Dek. Ini biar kakak kamu yang ngerjain. Sini, Ju!” seru Anna.

“Sukurin wle,” ejek Olive.

Ia berjalan melewati Junior dengan memasang wajah ledeknya. Dan tanpa sadar, kakinya kini akan berjalan menuju tempat dimana Gavin duduk.

“Oke, gue harus santai. Gavin manusia juga kok, bedanya dia terkenal,” batin Olive.

Olive duduk tepat di hadapan Gavin, mereka satu meja. Belum ada yang memulai obrolan di antara keduanya, sampai akhirnya Olive memberanikan diri untuk bicara lebih dulu.

“Lo mau beli kue kayak gimana?” tanya Olive. Ia berusaha terlihat setenang mungkin di hadapan Gavin.

Gavin menaikkan sebelah alisnya, “Eh? Oh, itu..” Gavin kembali diam.

“Ada yang available sekarang gak?” lanjutnya.

Olive mengangguk. “Ada sih, sebentar.”

Olive beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju kulkas kaca berisi berbagai macam kue. Ada yang berukuran kecil, sedang, maupun besar. Pembedanya hanya harga dan hiasan kuenya. Di kulkas ada sekitar 3 kue siap antar.

“Vin, sini deh! Lo liat sendiri kayak gimana ini kuenya,” ucap Olive sembari menyuruh Gavin menyusulnya ke sana.

“Wait.”

Gavin berdiri dihadapan kulkas kaca ini, melihat dengan detail dan mencari apa yang kira-kira cocok untuk kakaknya.

Sudah 15 menit berlalu, ia habiskan hanya untuk melihat kue yang ada. Akhirnya ia putuskan, untuk membeli ketiga kue itu.

“Gila aja masa beli tiga???” protes Olive.

“Kenapa emang? Kan terserah pembeli,” balas Gavin.

“Ya iya sih, tapi kan—” ucapan Olive langsung dipotong Gavin, “Yang penting bayar,” ucap Gavin.

Anna menghampiri keduanya. “Dari tadi belum ketemu yang cocok, nak? Apa mau dibuat dulu? Bisa aja sebenernya,” tutur Anna, Olive menggeleng.

“Waktunya gak cukup, mah,” protes Olive.

“Gapapa, tan. Ini Gavin beli tiga-tiganya aja,” jelas Gavin.

“Wah! Kuenya diborong. Ya sudah sebagai tanda terima kasih, nanti tante bawakan oleh-oleh ya,” tutur Anna dengan senyum sumringah, lalu kembali pergi mengerjakan kegiatannya.

“Udah kan, Vin? Pulang aja please, gua deg-degan mulu kalo ada lu,” gumam Olive lalu lebih dulu pergi meninggalkan Gavin.

Bukan pergi ke kamar, Olive kali ini kembali duduk di tempat yang sedari tadi ia duduki bersama Gavin.

“Udah, kan? Soal kuenya?” tanya Olive memastikan.

Gavin mengangguk.

“Iya, soal kue udah. Soal hati belum, gua ke sini kan mau ketemu lo juga, Liv,” tutur Gavin, tak lupa dengan senyum tipis manisnya.

“DIEM LU DIEM SUMPAH,” batin Olive, rasanya ia ingin berteriak.

“By the way, ajarin gue buat kue dong,” pinta Gavin sembari duduk dengan menangkup kedua pipinya.

“Ajarin gue main gitar juga kalo gitu,” ucap Olive asal.

“Deal. Mau mulai kapan??” tanya Gavin dengan nada bersemangat.

Olive menjatuhkan kepalanya ke meja, frustasi. “Sumpah mulut gue kenapa sih???? Salah ngomong banget ini mah,” batin Olive.

“Nanti gimana dong??? Aduh sial, mati gue,” batin Olive lagi.

Waktu menunjukkan tepat pukul 19.00 WIB, yang artinya sebentar lagi waktu makan malam bersama itu akan tiba. Gavin sudah rapi dengan outfit casual serba hitam, tak lupa sepatu converse bergaris tipis warna putih miliknya.

Gavin berjalan menuju garasi, dengan segera ia masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Setelah sabuk pengaman terpasang dengan benar, ia langsung bergegas pergi menuju kediaman Olive.

“Wish me luck, walaupun gua gak tau bakal ngapain di sana,” gumam Gavin.


Bertolak belakang dengan Gavin yang sedikit santai, Olive yang berada di kamar kini tengah sibuk-sibuknya. Sibuk menghadapi detak jantungnya yang bergerak begitu cepat, ia bahkan memprediksi bahwa dirinya akan pingsan hari ini. Hari ini, dinner bareng Gavin?

“Dek! Bantuin Mama!” seru Anna dari luar kamar putrinya, sambil mengetuk-ngetuk.

Dengan tergesa-gesa Olive segera membuka pintu kamarnya, dan berhadapan langsung dengan Anna.

“Cepet, nak. Bantuin itu lho,” tutur Anna, sambil menunjuk ke arah dapur berisi berbagai macam makanan.

Olive tersentak. “Mah, ini mah bukan acara kecil-kecilan,” protesnya sambil berjalan menuju dapur.

“Ya, emang bukan. Tadinya sih iya, tapi kan ada nak Gavin, gimana sih kamu,” balas Anna.

“Kan mama yang nyuruh gue buat ngundang Gavin, ya? Ya, salah gue lagi aja udah,” gumam Olive sebelum akhirnya membantu Anna memindahkan makanan di dapur ke meja makan.


Gavin menghentikan laju mobilnya, yang artinya ia sudah sampai di tempat tujuan. Kediaman Olive.

“Sial, gue kenapa deg degan, ya?” batin Gavin.

“Santai, Vin. Cuma dinner,” lanjut Gavin.

“Dinner bareng camer tapi anjing hahaha,” lanjut Gavin lagi, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam gedung berlantai dua di hadapannya ini.

Di dalam sana, lebih tepatnya di lantai satu, Gavin disambut oleh Junior. Sedikit bertegur sapa, lalu Junior beranjak dari duduknya dan pergi menghantarkan Gavin menuju ruang makan rumahnya ini.

“By the way, kok lo mau dateng sih, Vin?” tanya Junior sedikit heran.

“Lagi gak ada kerjaan, Bang,” jawab Gavin jujur.

Junior sedikit ber-oh ria. “Oh, berarti kalo ada kerjaan lu gak bakal dateng, ya?” tanya Junior lagi.

“Gak juga,” ucap Gavin agak bingung.

Keduanya sampai di meja makan. “Ah plin plan lu hahaha, santai aja, Vin. Noh duduk duluan aja,” ucap Junior, yang setelahnya pergi ke balkon untuk merokok.

“Eh, nak Gavin sudah datang. Silahkan duduk, nak. Ayahnya Olive masih di perjalanan,” tutur Anna lemah lembut, mempersilahkan Gavin untuk duduk.

“Dek! Sini meja makan!” seru Anna, memanggil putrinya, Olive.

“Sebentar!” seru Olive santai dari dapur.

Padahal yang sebenarnya terjadi, Olive sangat gugup untuk makan malam ini. Entahlah, baginya ini adalah ide makan malam paling konyol. Dirasa sudah lebih tenang, Olive langsung menyusul ke meja makan. Bersamaan dengan Olive yang datang ke meja makan, papa juga baru saja sampai di rumah.

Satu ruangan dengan konsentrasi lima orang yang berbeda, namun kini kelimanya tengah fokus dengan makanan mereka masing-masing. Suasana sunyi, sampai akhirnya satu pertanyaan terlontar dari mulut papa, Geno.

“Kamu itu anak band ya, nak?” Gavin segera mengangguk.

Geno ber-oh ria. “Sama, om juga dulu anak band,” ucap Geno sambil tersenyum bangga.

“Anak band apanya kamu, Pah? Blue band?” celetuk Anna, membuat seisi ruangan penuh tawa, terlebih lagi Olive.

“Dek, ketawanya biasa aja kali. Papa beneran anak band dulu,” ucap Geno, Olive hanya mengangguk-angguk agar drama sang Papa perihal band ini selesai.

“Yang beneran anak band itu kakaknya Olive, Vin,” tutur Anna.

Kini gantian Gavin yang ber-oh ria. “Band gak jadi sih kalo Junior,” balasnya sambil tertawa.

“Kakaknya manager Osward itu vokalis band gue dulu, Vin,” jelas Junior.

“Keren juga.”

Junior mengangguk. “Emang, sayang aja gak jadi. Soalnya personil gue bilang mager perfom, kocak banget emang,” jelas Junior sambil menahan tawa dan dengan nada tak habis pikir juga.

Memang pada dasarnya Junior ini hobi usil, apalagi dengan sang adik. Di suasana yang kembali sunyi, tiba-tiba ia melontarkan satu kalimat. “Tumben gak heboh, Dek,” ledek Junior, yang langsung mendapat pijakan kaki Olive di bawah sana dan pelototan mata bundarnya.

“Aw! Gue nanya doang padahal,” ledeknya lagi.

“Gue mules banget anjing, deg-degan banget fak,” batin Olive.

“Ah iya, hampir lupa. Jangan bosen temenan sama Olive ya, nak Gavin. Kalo lebih dari temen juga boleh,” ucap Anna dengan senyum yang sedikit melebar.

“Yang paling penting, semoga kamu dan band kamu semakin jaya di masa depan ya, nak,” lanjut Anna.

“Terima kasih, Tante,” balas Gavin dengan senyuman yang tak kalah manis.

“Kalo kamu butuh tips pdkt ngobrol aja sama om, Vin. Gini-gini dulu om jago kalo soal pdkt pdkt gitu,” sahut Geno.

“Uhuk.. uhuk..” Pernyataan Geno itu ternyata membuat putrinya terbatuk.

“Batuk, Dek? Minum baygon, batuk nambah, nyawa melayang,” celetuk Junior.

Anna mengulum senyum malu, “Mohon maaf ya, nak Gavin. Keluarga kita memang seperti ini,” tuturnya.

“Hahaha iya, Tan. Gapapa, seru kok,” seru Gavin sambil tersenyum lagi.

Junior menepuk-nepuk bahu Gavin, “Vin, asli dah, kalo gak kuat lambaikan tangan ke kamera aja ya. Tapi gua gak tau kameranya di sebelah mana.” Kesan lawaknya sangat terasa, meski mimik wajah Junior datar.


Setelah berpamitan dengan keluarga Olive, Gavin bergegas untuk kembali pulang. Ia di antar Olive sampai halaman. Ah iya, keduanya sedari tadi belum banyak bicara.

Sebelum Gavin pergi ke tempat dimana mobilnya terparkir, sapaan Olive menghentikan langkah kakinya. “Vin!”

Olive mendekat dan menghampirinya, “Sorry ya, dinnernya agak aneh. Ide nyokap gue emang aneh sih dari awal, tapi makasih banyak karena lo udah sempetin waktu untuk dateng. Sorry ya kalo tadi lo gak nyaman, sekali lagi makasih banyak idolaaaa,” jelas Olive diakhiri acungan kedua ibu jarinya.

Gavin tertawa kecil, “Keluarga lo seru, gue betah sebenernya ngobrol sama kalian, apalagi papa lo. Tapi sayangnya udah jam segini, next time gue bakal main lagi kayaknya, Liv. Gapapa kan?”

“Hah?” Gavin mengangguk. “Iya, main. Main sama lo,” ucap Gavin jujur, membuat wanita yang ada dihadapannya ini tersentak.

“Dipikirin nanti aja, Liv. Gua mau pulang dulu, lo jangan tidur malem-malem. By the way, satu hal yang lo harus tau. Gue manusia biasa sama kayak lo, jadi wajar aja kan kalo gue jatuh cinta sama lo?” ucap Gavin sambil mengulum senyuman disetiap kalimat yang ia ucapkan barusan.

Tak ada jawaban dari Olive, begitu juga Gavin yang tak menunggu jawaban apapun dari Olive. Gavin bergegas masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya, meninggalkan Olive yang masih berdiri kebingungan mencerna kalimat Gavin barusan.

“Gavin harus gue nobatkan jadi orang tergila sedunia,” batin Olive.

Gavin baru saja keluar dari minimarket, dengan bawaan satu kantong plastik berisi penuh camilan. Ia bergegas pergi ke parkiran dan menuju ke suatu tempat lagi, sebelum pergi ke rumah Olive, Fotocopy. Barang bawaannya ia tinggal di motor, sedangkan dirinya masuk ke dalam untuk membeli satu benda yang entah untuk apa.

“Kak, ada sticky notes?”

“Ada kak, mau berapa?” tanya sang penjaga toko. Gavin menunjukkan jari telunjuknya, yang artinya ia hanya ingin membeli satu buah.

Sebelum Gavin bergegas pergi, ia meminjam pulpen sang penjaga toko untuk menuliskan sesuatu di sticky note yang ia beli. Tanpa menunggu waktu lama, Gavin selesai dengan apa yang ingin ia tulis dan saat itu juga ia bergegas pergi keluar dari sana. Ia langsung melajukan motor ninja hitamnya dan melanjutkan perjalanan ke rumah Olive.


Olive dan kedua temannya baru saja memesan makanan siap saji di ojek online, sambil menunggu pesanan mereka datang, ketiganya menyibukkan diri dengan gadget masing-masing. Kurang lebih 15 menit berlalu, tiba-tiba ada suara motor berhenti di depan rumah Olive. Anehnya tak ada panggilan dari pengantarnya. Sebelum mengetahui kebenaran yang ada, ketiganya tentu berpikir bahwa yang datang itu adalah pesanan mereka. Sampai akhirnya Isa dan Dira pergi untuk melihat. Dan, tepat di luar sana Gavin berdiri membawa satu kantong penuh makanan.

“HAH GAVIN??” celetuk Isa. Bahkan dirinya hampir tersedak karena apa yang baru saja ia lihat.

“Anjir, kerja sampingan Gavin join ojek online kah?” Pertanyaan Dira itu langsung mendapatkan tepukan pelan dari Isa yang beradaa di sebelahnya.

“Lu yang bener aja anjir, kayaknya dia mau ketemu sama Olive deh,” ucap Isa sok tahu menahu.

“Ya udah, panggil si Olive aja,” sahut Dira, “Dih gak bisa, lu tadi gak liat dia lagi kayak gimana,” decak Isa membuat Dira hanya mengangguk pasrah.

“Ya oke, terus ngapain?” tanya Dira, “Lu gih samperin, gue gak kuat soalnya ganteng banget hehehe,” gurau Isa.

Tanpa basa basi, Dira langsung menghampiri Gavin.


“Eh sorry, ini Gavin The Osward?” tanya Dira agak sedikit bodoh, padahal dirinya tahu betul itu Gavin pujaan hati Olive.

Gavin agak kebingungan namun kepalanya mengangguk. “Iya, Olive-nya ada?” tanya Gavin to the point.

“Eum.. ada sih, tapi dia lagi gak pengen diganggu, lo ada perlu apa?” tanya Dira layaknya seorang pewawancara.

Gavin menyerahkan kantong yang ia bawa. “Gua cuma mau kasih ini, sama tolong kasih tau Olive untuk baca sticky note-nya ya. Thanks, gue cabut duluan,” tutur Gavin.

Dira kembali masuk ke dalam area rumah Olive, begitu juga dengan Gavin yang kembali ke motornya lalu pergi. Isa langsung menghampiri Dira karena rasa penasarannya.

“Eh apa tuh?” tanya Isa penasaran. Ia mengintip sedikit isi kantong plastik itu.

“Dipikir pikir si Gavin sweet juga ya, Olive abis ini kayaknya kegirangan,” celetuk Dira yang dibalas anggukan penuh oleh Isa.

Ketika keduanya ingin naik ke atas, tiba-tiba suara yang mereka tunggu datang. “Pizza! Atas nama kak Olive!” Dira dan Isa yang mendengar hal itu, dengan segera mereka berlari keluar lagi.

“Akhirnya dateng jugaaaaa,” ucap Isa yang sudah tak sabar untuk melahap makanan khas Italia itu.

Isa membawa pizza dan Dira membawa titipan Gavin. Keduanya kini sudah berjalan masuk ke rumah Olive dan naik ke kamarnya.

Olive's POV

Setelah pergulatan batin yang panjang, akhirnya aku putuskan untuk pergi bertemu dengan Marvin. Orang yang belum lama ini telah ku putuskan. Hubungan kami selama satu tahun terakhir ini memang terasa hambar. Entah karena ada yang berubah, atau sebenernya dari dulu hanya aku yang tak sadar kebenarannya. Aku berjalan dengan sedikit keraguan, banyak ketakutan yang ku alami sekejap, sampai akhirnya ia datang.

“Liv!” sapanya dari jarak kurang dari lima meter.

Ia berjalan menghampiri tempat dimana aku berdiri, ia datang ke sini sendirian. Walau aku tahu sebenarnya ia pergi ke konser ini bersama dengan mantannya, Aura. Mungkin Marvin beralasan ingin pergi ke toilet makanya Aura izinkan, karena kalau saja ia jujur dengan Aura pasti kami tak akan bisa bertemu di sini, saat ini.

“Liv, aku minta maaf.” Kalimat pertama yang keluar darinya.

“Udah?” tanyaku memastikan.

Marvin mengeleng kecil, ia lalu menunjuk kursi panjang yang berada di sebelah kanan mereka. “Ngobrol di sana yuk!” ajak Marvin.

Aku dan Marvin duduk di kursi sana. Entah kenapa degupan jantung ku rasanya semakin memacu, begitu juga dengan hatiku yang semakin gelisah. Setelah ini akan ada apa, ya?

“Liv sebelumnya aku sadar, apa yang aku lakuin selama ini salah. Maaf karena aku gak pernah bisa jujur sama kamu. Tapi hari ini aku bener-bener mau bilang terima kasih karena kamu bersedia kasih aku kesempatan untuk kasih penjelasan, walaupun rasanya penjelasan ini udah terlalu basi dan gak guna buat kamu. Tapi buat aku, penjelasan ini seenggaknya bisa ngehilangin sedikit rasa bersalah aku sama kamu.” Aku mengangguk, “Jadi, mau kasih penjelasan soal apa?” tanyaku.

“Maaf Liv, sebenernya aku gak pernah bener-bener cinta sama kamu. Pengakuan aku soal perasaan aku ke kamu tiga tahun lalu, itu cuma sebagai pelampiasan buat aku. Karena aku gak bisa balikan sama Aura dan waktu itu kebetulan dia juga pacaran sama rival aku, yang buat aku semakin gak terima. Tadinya aku mikir perasaan aku ke kamu bisa jadi serius, apalagi waktu itu posisinya kita udah dua tahun bareng, tapi ternyata pikiran aku gak bisa aku realisasikan. Karena selama dua tahun sama kamu pun, aku gak pernah benar-benar cinta. Tiga bulan setelah kita rayain hubungan kedua tahun, Aura putus sama pacarnya dan dia mulai hubungi aku lagi. Kita sering keluar bareng, apa yang dia mau selalu aku turutin, termasuk waktu itu pas aku bilang ke kamu kalo aku di Bandung. Aku sebenernya waktu itu di Jakarta, perusahaan papa juga fine-fine aja. Tapi maaf, karena demi Aura aku pake alasan itu ke kamu. Salah aku banyak sama kamu, Liv,” jelas Marvin panjang lebar.

Kalau kalian pikir aku sekuat itu untuk mendengar penjelasan dari Marvin, kalian salah. Rasanya, benar-benar sakit. Bahkan lebih sakit daripada saat aku memutuskannya beberapa waktu lalu.

“Aku ngelakuin itu dengan sadar, maaf. Maaf karena udah bawa kamu ke urusan hati aku. Maaf karena kamu harus nerima kenyataan kalo aku yang dulu dan sekarang, masih tetap sama, cuma kamu aja yang gak tau sebenernya. Kamu mau marah sama aku pun gapapa, aku sadar itu.”

Aku menghela napas panjang, rasanya sangat berat. “Hampir empat tahun, Vin. Selama itu juga kamu mainin perasaan aku. Aku yang bingung kalo tiba-tiba kamu diemin aku, aku yang harus nunggu ketika kamu bilang ada kerjaan di kantor, aku yang milih untuk streaming The Osward daripada ngeiyain temen aku yang ngajak jalan karena kamu larang aku. Aku gak pernah marah dan banyak tanya ketika kamu males buat telfonan, padahal sebelumnya kamu sendiri yang bilang 'nanti kalo udah selesai aku telfon'. Vin, perasaan aku tuh sebercanda itu ya buat kamu??”

“Liv, aku minta maaf. Tapi, aku gak mau kehilangan kamu, Liv,” lirih Marvin.

“Well, kita udah putus. Aku bersedia dengerin kamu di sini pun, ya sekedar untuk dengerin dan gak ada maksud lain. Kamu gak mau kehilangan aku, tapi kamu gak pernah cinta sama aku. Kamu jahat, Vin. Jahat banget. Semoga cuma aku yang kamu perlakukan kayak gini,” ucapku, lalu meninggalkan Marvin yang masih terduduk di kursi panjang itu.

“Setidaknya gue udah jujur, walaupun terlalu telat,” batin Marvin.

Kini air mataku sudah tak terbendung. Sesak di dada benar-benar terasa nyata. Ditemani rasa tak menyangka, aku masih tak percaya ia lebih jahat dari yang aku kira. Hari ini, dengan banyaknya pasang mata yang tanpa sadar menjadi saksi di sana. Hubungan ku dengannya benar-benar selesai.

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu Olive, Konser The Osward. Sedari pagi yang Olive lakukan hanya memilah-milah outfit yang ingin ia kenakan nanti.

“Kenapa gue gak punya baju???” keluhnya sembari membereskan kamarnya yang layak disebut kapal pecah, karena pakaiannya ada dimana-mana.

“Gak punya baju apanya anjir? itu dua lemari lu kira isinya angin, Dek?” tegur Junior, sang Kakak.

Olive menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal. “Eh maksud gue bukan gak punya baju, Kak. Lebih tepatnya gak punya baju buat konser gitu.” Begitulah bentuk klarifikasi untuk membela dirinya.

“Sama aja, udah cepet rapi-rapi. Nanti kalo telat lu nangis lagi,” ledek Junior lalu meninggalkan sang Adik di kamarnya.

“Kampret lo—gue baik hati ke lo cuma karena lo mau nemenin gue konser,” balas Olive.

Kini Olive kembali membereskan kamarnya, sambil sesekali mengeluh kenapa gue gak punya baju? katanya. Setelah kamarnya kembali bersih dan rapi, kini waktunya Olive yang membersihkan diri di kamar mandi. 45 menit berlalu barulah Olive keluar dari tempat lembab itu. Seisi ruangan dipenuhi aroma harum mengikuti keluarnya Olive dari sana.

Olive bergegas memakai segala pakaian yang ingin ia kenakan hari ini. Hanya butuh waktu 30 menit untuk Olive berganti pakaian dan memakai sedikit make up. Dirasa sudah cukup, Olive langsung turun menyusul Junior yang tengah mengecek keadaan mobilnya. Melihat waktu yang semakin dekat, keduanya segera berpamitan dengan Papa dan Mama.

Junior lebih dulu masuk ke mobil, disusul Olive yang tengah sibuk dengan cookies-nya. Olive tipe anak yang ketika dalam perjalanan, setidaknya harus mengunyah satu makanan agar tak pusing. Makanya, hari ini ia membawa satu box berisikan beberapa cookies buatan sang Mama kemarin.


Mobil yang Junior kendarai berhenti, yang artinya mereka sudah sampai di tempat konser. Junior mencari tempat parkir yang strategis, namun mobilnya tetap aman dari panas. Dan, dapat.

“Dah?” tanya Olive, yang melihat Junior bersiap turun.

“Kalo mau konser di sini juga gapapa sebenernya,” balas Junior.

“Kak lu nyebelin banget sumpah,” keluh Olive sambil membuka pintu mobilnya.

Tak ada balasan apapun dari Junior, yang ada malah Olive ditinggal.

“KAK TUNGGUIN GUE!!!” serunya sambil berlari dari parkiran.

Sampailah keduanya di pintu masuk. Saat keduanya menunjukkan tiket yang mereka punya, bukannya mendapatkan izin masuk ke area panggung, mereka berdua malah dibawa ke suatu tempat. Yang ternyata, back stage The Osward.

“Apalagi ini tuhan??” keluh Olive.

Keduanya berada di back stage, dan Olive terkejut bukan main. “Ini saya salah tempat gak sih, Mas? Hehehe,” ucap Olive, saat melihat keberadaan Haga dan Neo di back stage.

“Gak kok, Kak. Itu tiket yang kalian bawa, tiket freepass untuk keluarga The Osward. Makanya kalian diizinkan untuk masuk ke sini, kalo begitu saya izin kembali ke sana ya, Kak.”

Neo menghampiri Olive, “Eh ini lo yang dapet tiket dari Gavin, ya?” Olive langsung mengangguk yakin.

“Ehem.. Oh jadi ini,” ledek Haga sekilas.

“Anaknya lagi di toilet, tunggu aja di sini gapapa. Btw gue Neo,” sapa Neo.

“Dikira gue stan Osward cuma tau Gavin kali ya?” batin Olive.

“Dia udah pasti kenal lu lah, kan stan The Osward,” ucap seseorang di belakang Olive.

Ia sadar, suara itu milik Gavin.

Dengan polos Junior bertanya, “Oh ini The Osward?”

“Iya bang, masa lu mau nonton konsernya tapi gak tau bandnya,” celetuk Haga seperti biasa.

“Oh iya sorry sorry, gue cuma nemenin adek gue.”

Ketiganya terkejut mendengar apa yang Junior katakan barusan. “Eh maaf bang, kirain orang nyasar,” ucap Haga lagi.

“Santai santai, gue gak makan orang.”

Gavin memperhatikan gerak-gerik Olive, “Santai aja, Liv. Yang mau tampil di panggung kan gua,” ucap Gavin. Entah mengapa, wajah Gavin sekarang lebih ceria dibandingkan dirinya yang dulu.

Manager Osward, Rafa, baru saja masuk ke back stage. Disusul Dirga, kakaknya. Rafa sedikit kebingungan melihat keberadaan Olive dan Junior. Sedangkan Dirga terkejut saat melihat keberadaan sahabatnya, Junior.

“Lah? Juju? Ngapain lu di sini anjir?” tanya Dirga heran, “Lah, Dirga?”

“Gue nemenin adek gue nonton konser,” tutur Junior.

“Anjir hoki banget ketemu di sini, terus ini lu ke back stage ngapain?” tanya Dirga sambil menghampiri kursi yang diduduki Junior.

“Adek gue dapet tiket langsung dari The Osward katanya, dikasih Gavin,” jelas Junior, Dirga langsung ber-oh ria menyadari hal itu.

“Jadi ini cewek yang lu mau kasih tiket itu, Vin?” tanya Dirga memastikan, Gavin mengangguk.

Seisi ruangan hanya menatap Dirga dan Junior bingung, kenapa tiba-tiba akrab? kata mereka.

Dirga sadar, adiknya bahkan personil The Osward dan adik Junior bingung. “Hahahah gue ngakak liat muka kalian. Junior ini temen gue dari SMP sampe SMA, intinya gitu,” singkat Dirga.

“Ohh, pantes.” celetuk Haga.


Konser akan segera dimulai.

“Liv, gak mau semangatin gue?” tanya Gavin, “Mending lu aja yang semangatin gue, Vin,” ucap Olive tak habis pikir dengan pertanyaan Gavin itu.

The Osward keluar dari back stage dan segera naik ke panggung, sedangkan Olive masuk ke dalam kerumunan Oswaver. Di sana Olive hanya sendiri, karena Junior sibuk berbincang dengan Dirga.

Lagu pertama diperdengarkan, When Roses Aren’t Red. Itu lagu debut The Osward, ciptaan ketiga personilnya. Dan lagu yang paling Olive sukai, meski semua lagu The Osward ia sukai sih.

Different isn’t always scary~

Like, when roses aren’t red~

“LIKE, WHEN ROSES AREN’T RED~” Suara itu berasal dari bawah panggung, semua Oswaver selalu ikut bernyanyi ketika The Osward membawakan lagu ini.

“WOHOOOO!!!” Tepuk tangan bergemuruh di penjuru tempat ini.

Setelah lagu itu selesai dibawakan, kini lagu kedua yang akan diperdengarkan, Love Station.

Dua lagu sudah dibawakan. Kini mereka menyempatkan diri untuk melakukan games, lalu break.

Kurang lebih 15 menit perjalanan Gavin dari studio ke toko kue Olive. Setelah memarkirkan motornya, dengan segera Gavin langsung masuk ke dalam toko. Pintu terbuka, lonceng berbunyi, dan saat itu juga jantung Olive rasanya ingin berhenti.

Kedua bola mata Olive rasanya ingin keluar dari porosnya, “HAH?????” batin Olive.

Sedangkan Gavin yang tengah berdiri di depan pintu hanya melemparkan senyumannya. Mama Olive, Anna, sama sekali tak menyadari bahwa yang berada dihadapannya ini adalah idola sang anak. Jadi, ia memperlakukan Gavin layaknya pembeli yang lain.

Olive sedari tadi berdiam diri, hanya saja sekarang ia memindahkan posisi tangannya—memegangi kepala. Pusing katanya.

“Dek, itu ada yang mau beli kue kok kamu diemin aja? Ini mama mau lanjutin cookies-nya, kamu tanyain ya mau pesen apa atau gimana gitu,” tutur Anna panjang lebar.

Olive semakin kencang memegangi kepalanya, sedangkan Gavin masih sama seperti tadi, ia melemparkan senyumannya lagi.

Olive menoleh dan berhadapan dengan Anna, “Mah, tau gak sih? Itu tuh Gavin Aveéro, idola akuuuu. Personil The Osward, mah. Bisa gila aku kalo deket sama dia,” protes Olive.

“Terus mau kamu anggurin gitu anaknya? Pasti jauh dari rumahnya ke sini,” balas Anna, mau tak mau Olive mengiyakan kemauan Anna. Meski dengan berat hati sedikit.

Olive berjalan menuju meja Gavin, “Si Gavin begini tuh bikin gue berharap—DIKIT,” ucap Olive dengan suara yang sangat kecil, embari menarik kursi untuk duduk.

Gavin mendekatkan wajahnya ke wajah Olive, “Jangan berharap dikit, Liv. Banyak aja,” ucap Gavin, yang lalu tak lupa dengan senyuman mematikannya.

“GUE BENERAN GILA,” teriak Olive dalam hatinya.

Gavin kembali menjauhkan posisi wajahnya dari wajah Olive, “Saya sebenernya ke sini bukan mau beli kue sih, Kak. Tapi mau ketemu sama Kak Olive-nya langsung,” tutur Gavin dengan nada menjengkelkan.

“BENTAR— JADI GAVA ITU LO?? GAVIN??? HAHHH???” teriak Olive, sedikit membuat Gavin tersentak, begitu juga dengan Anna.

“Dek, kamu ngomongnya pelan-pelan dong,” tegur Anna.

“Gak bisa kalo soal ini, Mah,” jawabnya penuh dengan nada frustasi.

Gavin membuka buku kecil berisikan menu-menu kue yang bisa di pesan, “Jangan stres dulu di sini, Liv. Besok di konser bisa lebih stres soalnya,” tutur Gavin, yang dilanjut dengan tawaan kecil.

“Vin, sumpah mending lu pulang. GUE STRES BANGET,” seru Olive, lalu bergegas pergi dan naik ke kamarnya.

Gavin hanya tersenyum puas, “Lucu deh,” gumamnya.

Anna menghampiri Gavin, lalu memberikannya satu toples berisi penuh cookies coklat.

“Ini kamu bawa pulang ya, Nak. Dimakan, jangan dijadikan pajangan. Saya mau bilang terima kasih, karena selalu menghibur anak saya. Lagu The Osward saya akui bagus bagus,” jelas Anna, Mama Olive.

“Aduh, terima kasih banyak, Bu. Kedepannya mungkin saya akan sering ke sini, gapapa kan?”

Anna mengangguk, “Gapapa, Nak. Tapi mohon maaf ya, kalo Olive anaknya heboh, giliran ketemu kamu langsung ciut,” celetuk Anna, lalu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.

“Kalo begitu, saya izin pulang ya, Bu. Titip salam untuk Olive, sampai ketemu di konser besok,” pamit Gavin, lalu bersalaman dengan Anna.

Setelah Gavin hilang dari pandangan Anna, yang terpikirkan olehnya hanya satu hal, Putrinya.

“Gak heran anak ku tergila-gila sama Gavin Gavin itu, tampan rupawan mapan. Haduh, calon mantu hahaha,” gumam Anna yang tanpa disadari tertular virus halu anaknya.

“Oh, jadi gini rasanya jatuh cinta,” ucap seorang disebrang sana, yang bayangannya sudah hilang mengikuti arahnya pulang.