Beli Kue Bonus Ketemu

Pagi hari yang cerah, cuaca hari ini cukup mendukung untuk melakukan berbagai aktivitas. Namun, tidak bagi Olive, cuaca seperti ini mendukungnya untuk tidur lebih panjang. Sayangnya niat itu sia-sia karena rencana kedatangan Gavin ke rumah—tokonya.

Baru saja Olive keluar dari kamar, dirinya langsung disambut oleh sang mama dengan wajah keheranan. “Tumben kamu mandi pagi,” tegur mama—Anna.

“Hehehe, gapapa,” elaknya.

“Emang siapa yang mau dateng?” tanya Anna. Insting ibu memang sangat kuat. 

“ Gavin mau ke sini, mau beli kue buat kakaknya,” jelas Olive, sambil berjalan menuju lemari es, mencari ice cream sisa semalam.

Anna mengangguk.

 “Sekalian mau ketemuan ya?” gurau Anna sambil melempar senyum tipis.

“Uhuk.. uhuk..”

“Waduh! Sampe batuk gitu. Pelan-pelan aja, Dek,” sahut sang kakak—Junior. 

“Berisik lo!” ketus Olive.

Olive beralih ke sofa ruang tamu bernuansa biru laut dengan kualitas busa yang sangat empuk, di sanalah ia menikmati sisa ice cream-nya.


Mobil berwarna hitam dengan plat nomor berakhiran VIN baru saja memarkirkan diri di depan toko kue Olive. Pelakunya tentu saja tak lain adalah Gavin.

“Ini gua langsung masuk aja kali ya,” batin Gavin.

“GAVIN UDAH DATENG???” seru Olive.

Junior mengangguk.

“Cek aja di bawah kalo gak percaya,” tutur Junior.

Junior bergegas turun kembali ke toko, entah untuk apa. Sedangkan Olive, ia sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Degupan jantungnya makin lama makin kencang, ia mencoba mengatur napas secara perlahan. Setelah merasa kondisi jantungnya lebih baik, Olive memutuskan untuk segera turun ke bawah. Meski ia takut, tapi tetap saja Gavin datang ke sana sebagai pelanggannya.

Olive menuruni tangga dengan perlahan, rasanya cara ia berjalan kini lebih lamban. “Ini kaki gue kenapa gak bisa lebih cepet sih? Giliran jantung gue aja detaknya udah kayak dikejar anjing,” gumam Olive.

“Hai, Liv!” sapa Gavin pertama.

Deg.

“Eh? Iya, Vin,” balas Olive dengan wajah yang agak kikuk.

Olive beralih ke dapur toko kuenya, dan membantu sedikit demi sedikit pekerjaan yang sedang dilakukan sang mama—Anna.

Netra Gavin tak berpaling, ia hanya terfokus dengan objek cantik itu, Olive.

“Jangan liatin gue please, deg degan anjir,” batin Olive. Ia sadar sedari tadi laki-laki itu terus memperhatikan aktivitasnya.

“Dek, ajak ngobrol Gavin lah. Masa lu di situ diem doang, itu ngerjain apa coba hahaha tipu tipu,” celetuk Junior. Layaknya seorang kakak, Junior selalu punya akal licik untuk menggoda sang adik.

Mama menambahi ucapan Junior dengan anggukan. “Bener kata kakakmu, ke sana aja, Dek. Ini biar kakak kamu yang ngerjain. Sini, Ju!” seru Anna.

“Sukurin wle,” ejek Olive.

Ia berjalan melewati Junior dengan memasang wajah ledeknya. Dan tanpa sadar, kakinya kini akan berjalan menuju tempat dimana Gavin duduk.

“Oke, gue harus santai. Gavin manusia juga kok, bedanya dia terkenal,” batin Olive.

Olive duduk tepat di hadapan Gavin, mereka satu meja. Belum ada yang memulai obrolan di antara keduanya, sampai akhirnya Olive memberanikan diri untuk bicara lebih dulu.

“Lo mau beli kue kayak gimana?” tanya Olive. Ia berusaha terlihat setenang mungkin di hadapan Gavin.

Gavin menaikkan sebelah alisnya, “Eh? Oh, itu..” Gavin kembali diam.

“Ada yang available sekarang gak?” lanjutnya.

Olive mengangguk. “Ada sih, sebentar.”

Olive beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju kulkas kaca berisi berbagai macam kue. Ada yang berukuran kecil, sedang, maupun besar. Pembedanya hanya harga dan hiasan kuenya. Di kulkas ada sekitar 3 kue siap antar.

“Vin, sini deh! Lo liat sendiri kayak gimana ini kuenya,” ucap Olive sembari menyuruh Gavin menyusulnya ke sana.

“Wait.”

Gavin berdiri dihadapan kulkas kaca ini, melihat dengan detail dan mencari apa yang kira-kira cocok untuk kakaknya.

Sudah 15 menit berlalu, ia habiskan hanya untuk melihat kue yang ada. Akhirnya ia putuskan, untuk membeli ketiga kue itu.

“Gila aja masa beli tiga???” protes Olive.

“Kenapa emang? Kan terserah pembeli,” balas Gavin.

“Ya iya sih, tapi kan—” ucapan Olive langsung dipotong Gavin, “Yang penting bayar,” ucap Gavin.

Anna menghampiri keduanya. “Dari tadi belum ketemu yang cocok, nak? Apa mau dibuat dulu? Bisa aja sebenernya,” tutur Anna, Olive menggeleng.

“Waktunya gak cukup, mah,” protes Olive.

“Gapapa, tan. Ini Gavin beli tiga-tiganya aja,” jelas Gavin.

“Wah! Kuenya diborong. Ya sudah sebagai tanda terima kasih, nanti tante bawakan oleh-oleh ya,” tutur Anna dengan senyum sumringah, lalu kembali pergi mengerjakan kegiatannya.

“Udah kan, Vin? Pulang aja please, gua deg-degan mulu kalo ada lu,” gumam Olive lalu lebih dulu pergi meninggalkan Gavin.

Bukan pergi ke kamar, Olive kali ini kembali duduk di tempat yang sedari tadi ia duduki bersama Gavin.

“Udah, kan? Soal kuenya?” tanya Olive memastikan.

Gavin mengangguk.

“Iya, soal kue udah. Soal hati belum, gua ke sini kan mau ketemu lo juga, Liv,” tutur Gavin, tak lupa dengan senyum tipis manisnya.

“DIEM LU DIEM SUMPAH,” batin Olive, rasanya ia ingin berteriak.

“By the way, ajarin gue buat kue dong,” pinta Gavin sembari duduk dengan menangkup kedua pipinya.

“Ajarin gue main gitar juga kalo gitu,” ucap Olive asal.

“Deal. Mau mulai kapan??” tanya Gavin dengan nada bersemangat.

Olive menjatuhkan kepalanya ke meja, frustasi. “Sumpah mulut gue kenapa sih???? Salah ngomong banget ini mah,” batin Olive.

“Nanti gimana dong??? Aduh sial, mati gue,” batin Olive lagi.