Dinner
Waktu menunjukkan tepat pukul 19.00 WIB, yang artinya sebentar lagi waktu makan malam bersama itu akan tiba. Gavin sudah rapi dengan outfit casual serba hitam, tak lupa sepatu converse bergaris tipis warna putih miliknya.
Gavin berjalan menuju garasi, dengan segera ia masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Setelah sabuk pengaman terpasang dengan benar, ia langsung bergegas pergi menuju kediaman Olive.
“Wish me luck, walaupun gua gak tau bakal ngapain di sana,” gumam Gavin.
Bertolak belakang dengan Gavin yang sedikit santai, Olive yang berada di kamar kini tengah sibuk-sibuknya. Sibuk menghadapi detak jantungnya yang bergerak begitu cepat, ia bahkan memprediksi bahwa dirinya akan pingsan hari ini. Hari ini, dinner bareng Gavin?
“Dek! Bantuin Mama!” seru Anna dari luar kamar putrinya, sambil mengetuk-ngetuk.
Dengan tergesa-gesa Olive segera membuka pintu kamarnya, dan berhadapan langsung dengan Anna.
“Cepet, nak. Bantuin itu lho,” tutur Anna, sambil menunjuk ke arah dapur berisi berbagai macam makanan.
Olive tersentak. “Mah, ini mah bukan acara kecil-kecilan,” protesnya sambil berjalan menuju dapur.
“Ya, emang bukan. Tadinya sih iya, tapi kan ada nak Gavin, gimana sih kamu,” balas Anna.
“Kan mama yang nyuruh gue buat ngundang Gavin, ya? Ya, salah gue lagi aja udah,” gumam Olive sebelum akhirnya membantu Anna memindahkan makanan di dapur ke meja makan.
Gavin menghentikan laju mobilnya, yang artinya ia sudah sampai di tempat tujuan. Kediaman Olive.
“Sial, gue kenapa deg degan, ya?” batin Gavin.
“Santai, Vin. Cuma dinner,” lanjut Gavin.
“Dinner bareng camer tapi anjing hahaha,” lanjut Gavin lagi, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam gedung berlantai dua di hadapannya ini.
Di dalam sana, lebih tepatnya di lantai satu, Gavin disambut oleh Junior. Sedikit bertegur sapa, lalu Junior beranjak dari duduknya dan pergi menghantarkan Gavin menuju ruang makan rumahnya ini.
“By the way, kok lo mau dateng sih, Vin?” tanya Junior sedikit heran.
“Lagi gak ada kerjaan, Bang,” jawab Gavin jujur.
Junior sedikit ber-oh ria. “Oh, berarti kalo ada kerjaan lu gak bakal dateng, ya?” tanya Junior lagi.
“Gak juga,” ucap Gavin agak bingung.
Keduanya sampai di meja makan. “Ah plin plan lu hahaha, santai aja, Vin. Noh duduk duluan aja,” ucap Junior, yang setelahnya pergi ke balkon untuk merokok.
“Eh, nak Gavin sudah datang. Silahkan duduk, nak. Ayahnya Olive masih di perjalanan,” tutur Anna lemah lembut, mempersilahkan Gavin untuk duduk.
“Dek! Sini meja makan!” seru Anna, memanggil putrinya, Olive.
“Sebentar!” seru Olive santai dari dapur.
Padahal yang sebenarnya terjadi, Olive sangat gugup untuk makan malam ini. Entahlah, baginya ini adalah ide makan malam paling konyol. Dirasa sudah lebih tenang, Olive langsung menyusul ke meja makan. Bersamaan dengan Olive yang datang ke meja makan, papa juga baru saja sampai di rumah.
Satu ruangan dengan konsentrasi lima orang yang berbeda, namun kini kelimanya tengah fokus dengan makanan mereka masing-masing. Suasana sunyi, sampai akhirnya satu pertanyaan terlontar dari mulut papa, Geno.
“Kamu itu anak band ya, nak?” Gavin segera mengangguk.
Geno ber-oh ria. “Sama, om juga dulu anak band,” ucap Geno sambil tersenyum bangga.
“Anak band apanya kamu, Pah? Blue band?” celetuk Anna, membuat seisi ruangan penuh tawa, terlebih lagi Olive.
“Dek, ketawanya biasa aja kali. Papa beneran anak band dulu,” ucap Geno, Olive hanya mengangguk-angguk agar drama sang Papa perihal band ini selesai.
“Yang beneran anak band itu kakaknya Olive, Vin,” tutur Anna.
Kini gantian Gavin yang ber-oh ria. “Band gak jadi sih kalo Junior,” balasnya sambil tertawa.
“Kakaknya manager Osward itu vokalis band gue dulu, Vin,” jelas Junior.
“Keren juga.”
Junior mengangguk. “Emang, sayang aja gak jadi. Soalnya personil gue bilang mager perfom, kocak banget emang,” jelas Junior sambil menahan tawa dan dengan nada tak habis pikir juga.
Memang pada dasarnya Junior ini hobi usil, apalagi dengan sang adik. Di suasana yang kembali sunyi, tiba-tiba ia melontarkan satu kalimat. “Tumben gak heboh, Dek,” ledek Junior, yang langsung mendapat pijakan kaki Olive di bawah sana dan pelototan mata bundarnya.
“Aw! Gue nanya doang padahal,” ledeknya lagi.
“Gue mules banget anjing, deg-degan banget fak,” batin Olive.
“Ah iya, hampir lupa. Jangan bosen temenan sama Olive ya, nak Gavin. Kalo lebih dari temen juga boleh,” ucap Anna dengan senyum yang sedikit melebar.
“Yang paling penting, semoga kamu dan band kamu semakin jaya di masa depan ya, nak,” lanjut Anna.
“Terima kasih, Tante,” balas Gavin dengan senyuman yang tak kalah manis.
“Kalo kamu butuh tips pdkt ngobrol aja sama om, Vin. Gini-gini dulu om jago kalo soal pdkt pdkt gitu,” sahut Geno.
“Uhuk.. uhuk..” Pernyataan Geno itu ternyata membuat putrinya terbatuk.
“Batuk, Dek? Minum baygon, batuk nambah, nyawa melayang,” celetuk Junior.
Anna mengulum senyum malu, “Mohon maaf ya, nak Gavin. Keluarga kita memang seperti ini,” tuturnya.
“Hahaha iya, Tan. Gapapa, seru kok,” seru Gavin sambil tersenyum lagi.
Junior menepuk-nepuk bahu Gavin, “Vin, asli dah, kalo gak kuat lambaikan tangan ke kamera aja ya. Tapi gua gak tau kameranya di sebelah mana.” Kesan lawaknya sangat terasa, meski mimik wajah Junior datar.
Setelah berpamitan dengan keluarga Olive, Gavin bergegas untuk kembali pulang. Ia di antar Olive sampai halaman. Ah iya, keduanya sedari tadi belum banyak bicara.
Sebelum Gavin pergi ke tempat dimana mobilnya terparkir, sapaan Olive menghentikan langkah kakinya. “Vin!”
Olive mendekat dan menghampirinya, “Sorry ya, dinnernya agak aneh. Ide nyokap gue emang aneh sih dari awal, tapi makasih banyak karena lo udah sempetin waktu untuk dateng. Sorry ya kalo tadi lo gak nyaman, sekali lagi makasih banyak idolaaaa,” jelas Olive diakhiri acungan kedua ibu jarinya.
Gavin tertawa kecil, “Keluarga lo seru, gue betah sebenernya ngobrol sama kalian, apalagi papa lo. Tapi sayangnya udah jam segini, next time gue bakal main lagi kayaknya, Liv. Gapapa kan?”
“Hah?” Gavin mengangguk. “Iya, main. Main sama lo,” ucap Gavin jujur, membuat wanita yang ada dihadapannya ini tersentak.
“Dipikirin nanti aja, Liv. Gua mau pulang dulu, lo jangan tidur malem-malem. By the way, satu hal yang lo harus tau. Gue manusia biasa sama kayak lo, jadi wajar aja kan kalo gue jatuh cinta sama lo?” ucap Gavin sambil mengulum senyuman disetiap kalimat yang ia ucapkan barusan.
Tak ada jawaban dari Olive, begitu juga Gavin yang tak menunggu jawaban apapun dari Olive. Gavin bergegas masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya, meninggalkan Olive yang masih berdiri kebingungan mencerna kalimat Gavin barusan.
“Gavin harus gue nobatkan jadi orang tergila sedunia,” batin Olive.