Anaknya baik

Malam ini jadi malam yang berharga bagi mama. Meski personilnya belum lengkap, bagi mama sudah cukup. Menghabiskan waktu dengan anak dan cucu adalah impian setiap orang dikala menuju lanjut usia. Beruntungnya Tia punya anak-anak yang dengan mudah dapat berkumpul, meski semuanya punya kesibukan masing-masing. Mereka masih ingat dan tahu, tempat mereka berpulang.

“Kandungan kamu gimana, Kak?” tanya Tia kepada putri sulungnya, Dea.

“Sehat kok, Mah. Aku rutin check up dan konsul juga, perkiraan dokternya sih lahir normal. Semoga bisa,” tutur Dea sambil sesekali mengelus perutnya yang kian hari semakin membesar.

“Syukurlah. Pasti bisa, Nak. Kamu jangan banyak pikiran, jangan kecapean juga lho ya. Mulai besok mama nemenin kamu di rumah, biar kamu gak kecapean ya, Nak. Mama ke sana gapapa, kan?”

Dea mengangguk paham. “Sebenernya gak usah repot-repot, Mah. Toh Dea juga masih bisa handle kerjaan, tapi kalo mau ke rumah juga ya gapapa. Rumah Dea kan rumah Mama juga,” balas Dea.

Tia menatap menantu laki-lakinya. “Kalo kamu gimana, Nak? Kerjaan lancar? Kamu juga jaga kesehatan selalu, biar nanti bisa temani Dea saat melahirkan,” tutur Tia dengan lembut.

“Kerjaan lancar, Mah. Itu pasti, nanti saya ambil cuti sampai Dea benar-benar pulih, Mah,” ucap suami Dea.

Tia benar-benar sosok orang tua dan mertua yang diinginkan banyak orang, yang tak pernah menuntut banyak hal dari anak dan mantu, juga yang selalu memberikan dukungan dalam hal apapun selagi tindakannya benar. Kini, giliran Gavin. Tia menatap si bungsu seraya mengelus bahunya lembut. “Kamu gimana, Dek? Kerjaan lancar juga gak?”

Gavin mengangguk. “Lancar. Mah. Bentar lagi aku juga mau rilis lagu baru,” ucap Gavin lalu menyuap sepotong daging di piringnya.

“Semoga lancar ya, Nak.” Gavin tersenyum menanggapi sekelibat restu dari sang mama.

“Kalo soal perempuan gimana nih?” tanya Tia sembari melempar senyum menggoda.

“Gampang itu, Mah. Diomongin nanti aja, Gavin pasti cerita kalo udah ada hehehe.”

Tia mengangguk paham. Ia juga tak ingin memaksa yang bukan kehendaknya, dan memilih para anaknya untuk menceritakan yang memang ingin mereka ceritakan saja.

“Iya iya, asal cerita ke Mama ya nanti. Tapi anaknya gimana, Dek?” tanya Tia iseng.

“Anaknya baik,” ucap Gavin sambil menahan senyumnya.

Dea tertawa melihat pipi sang asik merona. “Dasar remaja kasmaran, salting dikit langsung merah tuh pipi,” ledeknya.

“Kayak gak pernah muda aja,” celetuk Gavin.

Tia hanya menggeleng kecil melihat tingkah kedua anaknya, meski sudah besar tetap saja jiwa anak-anak mereka tetap ada. Kakak beradik yang kejahilannya sudah seperti makanan sehari-hari.

Gavin memberhentikan makannya seraya menatap sang mama. “Oh iya, Gavin izin pesen take a way satu ya,” ucapnya.

“Ya udah, buat siapa emang? Kamu masih kurang?” tanya Tia.

Dea menggeleng menanggapi pertanyaan sang mama. “Biasa anak muda, Mah. Buat ayangnya lah hahahaha,” ledek Dea, diacungi jempol oleh Gavin.

“Hehehe, boleh kan?” tanya Gavin lagi ke mama.

Mama mengangguk.

“Boleh, Nak.”