Aku Yang Tak Bernama Di hatimu
Olive's POV
Setelah pergulatan batin yang panjang, akhirnya aku putuskan untuk pergi bertemu dengan Marvin. Orang yang belum lama ini telah ku putuskan. Hubungan kami selama satu tahun terakhir ini memang terasa hambar. Entah karena ada yang berubah, atau sebenernya dari dulu hanya aku yang tak sadar kebenarannya. Aku berjalan dengan sedikit keraguan, banyak ketakutan yang ku alami sekejap, sampai akhirnya ia datang.
“Liv!” sapanya dari jarak kurang dari lima meter.
Ia berjalan menghampiri tempat dimana aku berdiri, ia datang ke sini sendirian. Walau aku tahu sebenarnya ia pergi ke konser ini bersama dengan mantannya, Aura. Mungkin Marvin beralasan ingin pergi ke toilet makanya Aura izinkan, karena kalau saja ia jujur dengan Aura pasti kami tak akan bisa bertemu di sini, saat ini.
“Liv, aku minta maaf.” Kalimat pertama yang keluar darinya.
“Udah?” tanyaku memastikan.
Marvin mengeleng kecil, ia lalu menunjuk kursi panjang yang berada di sebelah kanan mereka. “Ngobrol di sana yuk!” ajak Marvin.
Aku dan Marvin duduk di kursi sana. Entah kenapa degupan jantung ku rasanya semakin memacu, begitu juga dengan hatiku yang semakin gelisah. Setelah ini akan ada apa, ya?
“Liv sebelumnya aku sadar, apa yang aku lakuin selama ini salah. Maaf karena aku gak pernah bisa jujur sama kamu. Tapi hari ini aku bener-bener mau bilang terima kasih karena kamu bersedia kasih aku kesempatan untuk kasih penjelasan, walaupun rasanya penjelasan ini udah terlalu basi dan gak guna buat kamu. Tapi buat aku, penjelasan ini seenggaknya bisa ngehilangin sedikit rasa bersalah aku sama kamu.” Aku mengangguk, “Jadi, mau kasih penjelasan soal apa?” tanyaku.
“Maaf Liv, sebenernya aku gak pernah bener-bener cinta sama kamu. Pengakuan aku soal perasaan aku ke kamu tiga tahun lalu, itu cuma sebagai pelampiasan buat aku. Karena aku gak bisa balikan sama Aura dan waktu itu kebetulan dia juga pacaran sama rival aku, yang buat aku semakin gak terima. Tadinya aku mikir perasaan aku ke kamu bisa jadi serius, apalagi waktu itu posisinya kita udah dua tahun bareng, tapi ternyata pikiran aku gak bisa aku realisasikan. Karena selama dua tahun sama kamu pun, aku gak pernah benar-benar cinta. Tiga bulan setelah kita rayain hubungan kedua tahun, Aura putus sama pacarnya dan dia mulai hubungi aku lagi. Kita sering keluar bareng, apa yang dia mau selalu aku turutin, termasuk waktu itu pas aku bilang ke kamu kalo aku di Bandung. Aku sebenernya waktu itu di Jakarta, perusahaan papa juga fine-fine aja. Tapi maaf, karena demi Aura aku pake alasan itu ke kamu. Salah aku banyak sama kamu, Liv,” jelas Marvin panjang lebar.
Kalau kalian pikir aku sekuat itu untuk mendengar penjelasan dari Marvin, kalian salah. Rasanya, benar-benar sakit. Bahkan lebih sakit daripada saat aku memutuskannya beberapa waktu lalu.
“Aku ngelakuin itu dengan sadar, maaf. Maaf karena udah bawa kamu ke urusan hati aku. Maaf karena kamu harus nerima kenyataan kalo aku yang dulu dan sekarang, masih tetap sama, cuma kamu aja yang gak tau sebenernya. Kamu mau marah sama aku pun gapapa, aku sadar itu.”
Aku menghela napas panjang, rasanya sangat berat. “Hampir empat tahun, Vin. Selama itu juga kamu mainin perasaan aku. Aku yang bingung kalo tiba-tiba kamu diemin aku, aku yang harus nunggu ketika kamu bilang ada kerjaan di kantor, aku yang milih untuk streaming The Osward daripada ngeiyain temen aku yang ngajak jalan karena kamu larang aku. Aku gak pernah marah dan banyak tanya ketika kamu males buat telfonan, padahal sebelumnya kamu sendiri yang bilang 'nanti kalo udah selesai aku telfon'. Vin, perasaan aku tuh sebercanda itu ya buat kamu??”
“Liv, aku minta maaf. Tapi, aku gak mau kehilangan kamu, Liv,” lirih Marvin.
“Well, kita udah putus. Aku bersedia dengerin kamu di sini pun, ya sekedar untuk dengerin dan gak ada maksud lain. Kamu gak mau kehilangan aku, tapi kamu gak pernah cinta sama aku. Kamu jahat, Vin. Jahat banget. Semoga cuma aku yang kamu perlakukan kayak gini,” ucapku, lalu meninggalkan Marvin yang masih terduduk di kursi panjang itu.
“Setidaknya gue udah jujur, walaupun terlalu telat,” batin Marvin.
Kini air mataku sudah tak terbendung. Sesak di dada benar-benar terasa nyata. Ditemani rasa tak menyangka, aku masih tak percaya ia lebih jahat dari yang aku kira. Hari ini, dengan banyaknya pasang mata yang tanpa sadar menjadi saksi di sana. Hubungan ku dengannya benar-benar selesai.