Ragu?

Seperti yang Gavin katakan tadi, mereka akan berkeliling dulu sebelum pergi membeli bahan-bahan untuk keperluan kue, sembari Olive menikmati sarapannya. Selama perjalanan sesekali Gavin melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang Olive, dari makanan kesukaan, tempat kesukaan sampai moment dihidupnya yang tak terlupakan. Gavin bertanya dengan dalih hanya penasaran, memang benar ia penasaran. Namun, tujuan utama Gavin adalah ia ingin menulis juga mengingat tentang apa yang Olive suka dan tidak suka di dalam jurnalnya, untuk ia pelajari.

Sikapnya manis, bukan?

“Lo kenapa cuma suka bubur yang putih gitu doang? Padahal bubur pake kari tuh enak banget, Liv. Gue paling suka bagian dibubur itu kuah karinya,” jelas Gavin kepada Olive.

“I know right, lo emang suka banget sama kuah kari, waktu itu lo bilang pas interview dimana gitu. Ya kan?”

Gavin mengangguk. “Iya, bener. Cuma gak usah bahas point itu, kita bahas kenapa lo suka bubur putih doang aja?”

“Eum.. gimana ya. Dari gue kecil, setiap gue sakit itu pasti makannya bubur. Nah, buburnya ini cuma bubur putih. Dan mulut gue lebih terbiasa aja untuk makan bubur putih doang, ketimbang yang ada topping lain gitu. Selain karena itu, bubur yang komplit tuh keliatan kurang menarik aja menurut gue, ribet ya gue,” jelas Olive panjang lebar.

“Bukan ribet sih, cuma beda aja. Berarti lu prefer makan bubur putih ya, ketimbang bubur komplit?” tanya Gavin memastikan.

“Iyappp, bener banget.”

Obrolan mereka perihal bubur sudah selesai, begitu juga dengan bubur yang Olive makan sudah habis tak tersisa. “Enak gak?” tanya Gavin

“Jelas enak lah, kan gue doyan,” celetuk Olive sambil membuka botol air minumnya.

Sesaat Olive ingin minum, diwaktu bersamaan Gavin menghentikan laju mobilnya. “Kenapa berhenti?” tanya Olive sehabis minum. “Itu kan lo lagi minum, kalo jalan nanti tumpah,” ucap Gavin lalu kembali melajukan mobilnya.

“Cowo yang perhatian sama hal-hal kecil tuh emang wow banget. Tapi karena ini Gavin, jadi lebih wow lagi,” batin Olive.

Dirasa sudah cukup berkeliling dan Olive juga sudah menyelesaikan sarapannya. Gavin langsung membawa kemudinya menuju tempat yang ada di list mereka hari ini, supermarket. Suasana kembali sunyi, sampai akhirnya Olive memutuskan untuk lebih dulu memulai percakapan mereka. Karena sedari berangkat dari rumah Olive, yang melontarkan pertanyaan selalu Gavin.

“By the way, gue boleh tanya?”

Gavin menoleh ke arah sumber suara, Olive. “Boleh, Liv. Gue malah nunggu lo yang tanya soal gue hahaha,” ucap Gavin terlalu jujur.

“Hahahaha sorry ya, gue bingung juga sih mau tanya apa. Tapi, sekarang gue tau harus tanya apa.” Gavin menaikkan sebelah alisnya, simbolis menanyakan apa?

“Kenapa sikap lo manis banget sama gue? Sikap lo kayak gitu cuma ke gue atau ke semua orang?” Olive menghentikan bicaranya sejenak. “Maaf kalo pertanyaan gue terkesan lancang atau sok kepedean, gue cuma bingung harus bersikap gimana kedepannya. Lo tau kan hubungan gue sama lo aslinya, fans sama idol gitu, kayak gak mungkin aja gak sih?” lanjut Olive.

Laju detak jantungnya jadi lebih cepat dari biasanya, ia takut salah memberikan pertanyaan. Apalagi ini sedikit menyangkut dan menyinggung perasaan Gavin juga dirinya.

“Siapa yang bilang gak mungkin? Di kamus gue sih, mungkin-mungkin aja. Soal sikap manis gue, itu bener kok. Gue gitu karena orangnya itu lo, gue juga bersikap kayak gitu cuma sama lo, Liv. Karena title gue idol, emang gue jadi gak keliatan serius?” tanya Gavin, ucapannya benar-benar lembut. Seakan jadi pembukti bahwa dirinya benar-benar serius.

Olive mengangguk seakan paham. “Lo inget waktu di backstage? Gue cerita soal mantan gue, dari sana kepercayaan gue ke orang itu jadi turun drastis. Dan lagi juga, gue takut rasa gue ke lo itu sebatas rasa sayang dan baper ke idol aja,” tutur Olive, yang sama sekali tak menatap lawan bicaranya.

“Kalo gitu, tolong kasih gue kesempatan buat bener-bener masuk ya? Biar lo tau dan sadar rasa apa yang sebenernya lagi lo rasain. Kalo rasa gue sendiri sih, gak usah diomongin lagi, Liv. Cuma tinggal tunggu waktunya aja.”

Entahlah, ucapan Gavin rasanya agak sulit ditangkap oleh pikiran Olive. “Maksudnya?”

“Bahas nanti aja ya, udah sampe nih. Yang pasti sih, gue beneran sayang sama lo. Jadi, gue harap jangan ragu lagi soal perasaan gue.”

Kalimat itu jadi dialog terakhir antara Gavin dan Olive di mobil. Karena di detik selanjutnya, Gavin sudah keluar dari mobil dan membukakan pintu milik Olive.

“Jadi, gitu ya?” gumam Olive.


“Butuh troli gak?” tanya Gavin sesaat ingin memasuki area supermarket. “Butuh banget.”

“Dua apa satu?” gurau Gavin,

“Satu aja lah, ngapain bawa troli dua coba?”

Gavin tertawa kecil sembari mengambil satu troli dari banyaknya jejeran troli di sana. “Maaf cuma bercanda, bu,” ledek Gavin tak henti-hentinya.

Keduanya langsung masuk ke dalam dan mulai mencari bahan-bahan yang ingin mereka beli. Seperti tepung, mentega, pengembang kue, dan sebagainya. Gavin berjalan tepat di belakang Olive, ia juga yang membawa troli itu berjalan. Sedangkan Olive berada di depannya dengan membawa catatan berisi list bahan-bahan yang ia butuhkan.

“Eh ini bahan-bahannya udah, mau beli jajanan gak?” tanya Olive.

“Terserah, kan ibu negaranya kamu,” celetuk Gavin.

“Maksudnya apa ya kamu kamu,” batin Olive, rasanya ia ingin teriak saat itu juga.

“Mulut gue udah terlanjut, udahlah trobos.” Kini giliran batin Gavin yang menyuarakan suaranya.

Olive mengabaikan apa yang ia pikirkan baru saja dan bergegas pergi ke rak-rak berisi camilan dan kue-kue kering.