Toko Kue
Kurang lebih 15 menit perjalanan Gavin dari studio ke toko kue Olive. Setelah memarkirkan motornya, dengan segera Gavin langsung masuk ke dalam toko. Pintu terbuka, lonceng berbunyi, dan saat itu juga jantung Olive rasanya ingin berhenti.
Kedua bola mata Olive rasanya ingin keluar dari porosnya, “HAH?????” batin Olive.
Sedangkan Gavin yang tengah berdiri di depan pintu hanya melemparkan senyumannya. Mama Olive, Anna, sama sekali tak menyadari bahwa yang berada dihadapannya ini adalah idola sang anak. Jadi, ia memperlakukan Gavin layaknya pembeli yang lain.
Olive sedari tadi berdiam diri, hanya saja sekarang ia memindahkan posisi tangannya—memegangi kepala. Pusing katanya.
“Dek, itu ada yang mau beli kue kok kamu diemin aja? Ini mama mau lanjutin cookies-nya, kamu tanyain ya mau pesen apa atau gimana gitu,” tutur Anna panjang lebar.
Olive semakin kencang memegangi kepalanya, sedangkan Gavin masih sama seperti tadi, ia melemparkan senyumannya lagi.
Olive menoleh dan berhadapan dengan Anna, “Mah, tau gak sih? Itu tuh Gavin Aveéro, idola akuuuu. Personil The Osward, mah. Bisa gila aku kalo deket sama dia,” protes Olive.
“Terus mau kamu anggurin gitu anaknya? Pasti jauh dari rumahnya ke sini,” balas Anna, mau tak mau Olive mengiyakan kemauan Anna. Meski dengan berat hati sedikit.
Olive berjalan menuju meja Gavin, “Si Gavin begini tuh bikin gue berharap—DIKIT,” ucap Olive dengan suara yang sangat kecil, embari menarik kursi untuk duduk.
Gavin mendekatkan wajahnya ke wajah Olive, “Jangan berharap dikit, Liv. Banyak aja,” ucap Gavin, yang lalu tak lupa dengan senyuman mematikannya.
“GUE BENERAN GILA,” teriak Olive dalam hatinya.
Gavin kembali menjauhkan posisi wajahnya dari wajah Olive, “Saya sebenernya ke sini bukan mau beli kue sih, Kak. Tapi mau ketemu sama Kak Olive-nya langsung,” tutur Gavin dengan nada menjengkelkan.
“BENTAR— JADI GAVA ITU LO?? GAVIN??? HAHHH???” teriak Olive, sedikit membuat Gavin tersentak, begitu juga dengan Anna.
“Dek, kamu ngomongnya pelan-pelan dong,” tegur Anna.
“Gak bisa kalo soal ini, Mah,” jawabnya penuh dengan nada frustasi.
Gavin membuka buku kecil berisikan menu-menu kue yang bisa di pesan, “Jangan stres dulu di sini, Liv. Besok di konser bisa lebih stres soalnya,” tutur Gavin, yang dilanjut dengan tawaan kecil.
“Vin, sumpah mending lu pulang. GUE STRES BANGET,” seru Olive, lalu bergegas pergi dan naik ke kamarnya.
Gavin hanya tersenyum puas, “Lucu deh,” gumamnya.
Anna menghampiri Gavin, lalu memberikannya satu toples berisi penuh cookies coklat.
“Ini kamu bawa pulang ya, Nak. Dimakan, jangan dijadikan pajangan. Saya mau bilang terima kasih, karena selalu menghibur anak saya. Lagu The Osward saya akui bagus bagus,” jelas Anna, Mama Olive.
“Aduh, terima kasih banyak, Bu. Kedepannya mungkin saya akan sering ke sini, gapapa kan?”
Anna mengangguk, “Gapapa, Nak. Tapi mohon maaf ya, kalo Olive anaknya heboh, giliran ketemu kamu langsung ciut,” celetuk Anna, lalu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.
“Kalo begitu, saya izin pulang ya, Bu. Titip salam untuk Olive, sampai ketemu di konser besok,” pamit Gavin, lalu bersalaman dengan Anna.
Setelah Gavin hilang dari pandangan Anna, yang terpikirkan olehnya hanya satu hal, Putrinya.
“Gak heran anak ku tergila-gila sama Gavin Gavin itu, tampan rupawan mapan. Haduh, calon mantu hahaha,” gumam Anna yang tanpa disadari tertular virus halu anaknya.
“Oh, jadi gini rasanya jatuh cinta,” ucap seorang disebrang sana, yang bayangannya sudah hilang mengikuti arahnya pulang.